menu

Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Kamis, 17 Juli 2014

VIRAL (HEPATITIS B)

BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Menurut data WHO, pada 2012 virus hepatitis B telah menginfeksi 2 miliar penduduk dunia, lebih dari 350 juta orang diantaranya merupakan pengidap virus hepatitis B kronis, sekitar 850 ribu hingga 1 juta penduduk dunia meninggal karena infeksi hepatitis B dan C. Di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, lebih dari 70% penduduknya pernah terinfeksi virus hepatitis B (VHB).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi nasional hepatitis klinis sebesar 0,6 persen. Sebanyak 13 provinsi di Indonesia memiliki prevalensi di atas nasional. Kasus penderita hepatitis tertinggi di provinsi Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Penyakit hepatitis kronik menduduki urutan kedua berdasarkan penyebab kematian pada golongan semua umur dari kelompok penyakit menular. “Rata-rata penderita hepatitis antara umur 15 – 44 tahun untuk di pedesaan. Penyakit hati ini menduduki urutan pertama sebagai penyebab kematian. Sedangkan di daerah perkotaan menduduki urutan ketiga,” kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih dalam peringatan di RS Dr Sardjito Yogyakarta, di Jalan Kesehatan.
Penyakit hepatitis masih merupakan masalah yang besar. Sebab masih rendahnya kesadaran pemahaman masyarakat dan petugas kesehatan mengenai penyakit ini. Selain itu data dan informasi serta cakupan imunisasi yang belum merata menjadi salah satu kendala. Oleh karena itu, Indonesia telah mengusulkan kepada WHO agar hepatitis menjadi isu dunia dengan menetapkannya sebagai resolusi World Health Assembly (WHA) tentang viral hepatitis. Usulan tersebut diterima WHO untuk dibahas dalam sidang WHA atau majelis kesehatan sedunia ke-63 pada bulan Mei 2010 yang menetapkan tanggal 28 Juli sebagai hari hepatitis sedunia.
Apa yang ditakuti dari infeksi VHB adalah perjalanan akhir dari infeksi tersebut: kanker hati atau sirosis hati. Dilaporkan, 15-40% infeksi VHB berkembang menjadi sirosis hati dan setiap tahun 1,5 juta jiwa meninggal akibat kanker hati.
Sayangnya, tidak semua infeksi VHB menimbulkan gejala yang jelas. Pada mereka yang terinfeksi VHB akut, 90% anak-anak dan 70% pada orang dewasa tidak menampakkan gejala sama sekali. Hanya dengan memahami seluk-beluk infeksi VHB, Anda sebagai penderita akan lebih optimal dalam memanajemen diri sendiri, Anda akan memahami apa dan bagaimana yang perlu dilakukan demi dan untuk kepentingan diri Anda sendiri, dan bagi Anda yang belum menderita infeksi VHB, And adapt melindungi diri sendiri dan orang-orang yang Anda cintai. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis makalah ini.

B.  RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Apa yang dimaksud dengan Virus Hepatitis B?
2.    Bagaimana sejarah Virus Hepatitis B?
3.    Bagaimana struktur Virus Hepatitis B?
4.    Bagaimana reproduksi Virus Hepatitis B?
5.    Bagaimana penularan Virus Hepatitis B?
6.    Bagaimana pencegahan agar tidak terinfeksi Virus Hepatitis B?

C.  TUJUAN
a.    Tujuan Umum
1.    Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Epidemiologi Viral yang membahas mengenai Hepatitis B.
b.    Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian Virus Hepatitis B
2. Untuk mengetahui sejarah Virus Hepatitis B
3. Untuk mengetahui struktur Virus Hepatitis B
4. Untuk mengetahui reproduksi Virus Hepatitis B
5. Untuk mengetahui cara penularan Virus Hepatitis B
6. Untuk mengetahui cara mencegah agar tidak terinfeksi Virus Hepatitis B



























BAB II
PEMBAHASAN

A.  SEJARAH
Virus Hepatitis B pertama kali ditemukan oleh Blumberg dan kawan-kawan secara kebetulan pada tahun 1965, Mereka mendeteksi adanya suatu antigen dalam darah seorang warga suku Aborigin Australia penderita hemophilia. Antigen ini kemudian dinamakan Australian antigen.  Sekarang lebih dikenal dengan nama antigen permukaan VHB (HBsAg) karena terdapat di permukaan VHB. Blumberg dan kawan-kawan saat itu menemukan suatu antigen yang dijumpai pada 20% pasien yang menderita hepatitis. Antigen ini kemudian dinamakan Australian antigen, yang selanjutnya dinamakn HBsAg. Pada tahun 1970, ilmuwan lain, yaitu Dane dan kawan-kawan menemukan partikel HBsAg dan partikel utuh VHB, yang dinamakan partikel Dane.
Berkat keuletannya, Blumberg, ilmuwan yang berasal dari Amerika, selain telah menemukan virus Hepatitis B, pada akhirnya juga berhasil mengembangkan metode diagnostic dan menemukan vaksin hepatitis B. Sebagai penghargaan atas penemuannya, Blumberg dianugerahi hadiah Nobel bidang kedokteran pada tahun 1976.

B.  PENGERTIAN
Virus hepatitis B merupakan virus penyebab penyakit hepatitis B yang termasuk suatu keluarga dari virus-virus DNA yang disebut Hepadnaviridae. Virus-virus ini terutama menginfeksi sel-sel hati. Nama keluarga datang dari Hepar, berarti hati; DNA, merujuk pada deoxyribonucleic acid, materi genetik virus; dan viridae, berarti virus. Virus-virus lain dalam keluarga ini dapat menyebabkan hepatitis pada hewan-hewan tertentu. Virus-virus ini termasuk virus hepatitis woodchuck, virus hepatitis bajing tanah, dan virus hepatitis bebek. Hepadnaviridae adalah sangat serupa satu dengan lainnya. Maka, beberapa model-model hewan telah dikembangkan untuk mempelajari virus hepatitis B dan untuk mengevaluasi obat-obat baru untuk merawat virus hepatitis B.

C.  STRUKTUR VIRUS HEPATITIS B
Virus Heptitis B utuh adalah suatu virus DNA yang berlapis ganda dengan diameter 42 nm (1nm = 0,000000001 meter) dan berbentuk bulat. Selubung terluar tersusun oleh protein yang dinamakan hepatitis B surface antigen (HBsAg), sedangkan selubung dalam yang disebut nukleokapsid atau core (inti) tersusun oleh suatu protein hepatitis core antigen (HBcAg). Di dalam nukleokapsid terdapat DNA VHB dan enzim polymerase yang berfungsi untuk replikasi/penggandaan virus. Masing-masing protein penyusun VHB (terutama HBsAg dan DNA VHB) menjadi penanda atau marker penting untuk mengetahui sejauh mana Virus Hepatitis B menimbulkan masalah di dalam tubuh seseorang yang terinfeksi.

D.  REPRODUKSI VIRUS HEPATITIS B
Virus hepatitis B bereproduksi dengan cara mereplikasi diri melalui bentuk-bentuk peralihan RNA dan transkripsi balik. Meskipun penggandaan virus terjadi di dalam organ hati, virus tersebut dapat menyebar ke darah orang yang terinfeksi.

E.  CARA PENULARAN VIRUS HEPATITIS B
Penularan Virus Hepatitis B dapat melalui:
a.    Penularan dari ibu ke bayi
Virus Hepatitis B yang berasal dari ibu menular ke bayinya saat hamil (melalui peredaran darah tali pusat), proses melahirkan, atau setelah melahirkan
b.    Transfusi darah
Jika mengidap hepatitis B, maka jangan berniat untuk mendonorkan darah. Virus hepatitis B hidup dalam aliran darah. Ketika donor dilakukan, virus HBV akan ikut terbawa bersama darah penderita hepatitis B. Jika darah ini ditransfusikan ke orang lain, maka otomatis virus juga akan masuk ke dalam tubuh orang tersebut dan akan menginfeksinya. Palang Merah Indonesia memang memiliki proses standar dalam mengecek darah yang didonorkan. Setiap darah akan dilakukan proses screening virus dan jika ditemukan virus, termasuk hepatitis B, maka akan segera dimusnahkan dan tidak jadi dipakai. Oleh karena itu ada baiknya bagi penderita hepatitis B untuk tidak mendonorkan darah sehingga menambah beban PMI saja.
c.       Menggunakan barang bersama
Dalam keluarga pada umumnya sudah ditanamkan kebiasaan untuk tidak menggunakan barang pribadi orang lain secara sembarangan. Barang itu antara lain baju dalam, handuk, peralatan makan, alat cukur dan sikat gigi. Kebiasaan tersebut ternyata dapat mencegah penularan virus hepatitis B. Barang seperti alat cukur dan sikat gigi memang dapat menjadi media virus HBV menular kepada orang lain. Alat cukur dan sikat gigi pada umumnya rentan dengan noda darah yang tertinggal tanpa sengaja. Jika alat ini adalah milik orang yang terinfeksi penderita hepatitis B dan digunakan oleh orang lain, maka orang tersebut memiliki kemungkinan tertular virus HBV dan bisa menderita hepatitis B. Ini berlaku juga untuk pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama.
d.      Melalui hubungan seks
Selain darah, virus hepatitis B juga menggunakan cairan tubuh yang ada dalam organ reproduksi. Hubungan kelamin yang dilakukan dengan penderita hepatitis B, maka akan terjadi perpindahan virus ke tubuh pasangannya. Untuk itu tidak disarankan untuk berhubungan kelamin secara sembarangan apalagi berganti-ganti pasangan yang tidak jelas kesehatannya seperti dengan PSK. Aktivitas ini harus dihentikan karena rentan penularan hepatitis B dan juga penyakit menular kelamin lainnya. Lebih baik berhubungan kelamin dengan pasangan yang sah dibawah pernikahan sehingga membuat kemungkinan terjangkit penyakit hepatitis B menjadi kecil.

F.     FAKTOR RESIKO
1.    Melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berbeda beda tanpa menggunakan alat pengaman.
2.    Melakukan hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi hepatitis B tanpa menggunakan alat pengaman
3.    Memiliki penyakit seksual menular seperti gonorhea atau chamydia
4.    Berbagi jarum suntik
5.    Satu rumah dengan  orang yang terinfeksi hepatitis B menjalani hemodialysis ( cuci darah )

G. GEJALA PENYAKIT HEPATITIS B
Secara khusus tanda dan gejala terserangnya hepatitis B yang akut adalah demam, sakit perut dan kuning (terutama pada area mata yang putih/sklera). Namun bagi penderita hepatitis B kronik akan cenderung tidak tampak tanda-tanda tersebut, sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih beresiko.
Tanda gejala hepatitis B biasanya muncul setelah dua sampai tiga bulan setelah anda terinfeksi dan gejalanya dapat berfariasi dari yang ringan sampai parah. Tanda dan gejala hepatitis B antara lain :
1.    Nyeri pada area perut
2.     Urin yang berwarna gelap
3.    Nyeri sendi
4.     Hilang nafsu makan
5.    Mual dan muntah
6.    Lemah dan kelelahan
7.    Kulit dan area putih pada mata menjadi kuning

H.  CARA MENCEGAH AGAR TIDAK TERINFEKSI VIRUS HEPATITIS B
Langkah pencegahan agar kita tidak terinfeksi virus ini antara lain:
a.    Hindari pemakaian jarum suntik bekas.
b.    Hindari pemakaian bersama sikat gigi, pisau cukur dan alat lainnya yang menimbulkan luka.
c.    Hindari berhubungan seks bebas.
Adapun tumbuhan obat/herbal yang dapat digunakan untuk mencegah dan membantu pengobatan hepatitis diantaranya mempunyai efek sebagai hepatoprotektor yaitu melindungi hati dari pengaruh zat toksik yang dapat merusak sel hati, juga bersifat antiradang antara lain yaitu temulawak (Curcuma xanthorrhiza), kunyit (Curcuma longa), sambiloto (Andrographis paniculata), meniran (Phyllanthus urinaria), daun serut/mirten, jamur kayu/lingzhi (Ganoderma lucidum), akar alang-alang (Imperata cyllindrica), rumput mutiara (Hedyotis corymbosa), pegagan (Centella asiatica), buah kacapiring (Gardenia augusta), buah mengkudu (Morinda citrifolia), jombang (Taraxacum officinale).

I.     PEMERIKSAAN
1.    Menemukan virus dalam darah dengan mikroskop elektron
2.     Menemukan pertanda serologi infeksi (HBV)
3.    Menemukan (HBV) dna dengan hibridisasi atau PCR (polymerase chain reaction)
4.    Menemukan pertanda infeksi (HBV) pada jaringan biopsi hati
Ada tiga pemeriksaan standar yang biasa digunakan untuk menegakkan diagnosa infeksi hepatitis B yaitu:
a.    HBsAg (hepatitis B surface antigen): adalah satu dari penanda yang muncul dalam serum selama infeksi dan dapat dideteksi 2 -8 minggu sebelum munculnya kelainan kimiawi dalam hati atau terjadinya jaundice (penyakit kuning). Jika HBsAg berada dalam darah lebih dari 6 bulan berarti terjadi infeksi kronis. Pemeriksaan HBsAg bisa mendeteksi 90% infeksi akut. Fungsi dari pemeriksaan HBsAg diantaranya :
Ø indikator paling penting adanya infeksi virus hepatitis
Ø mendiagnosa infeksi hepatitis akut dan kroni
Ø tes penapisan (skrining) darah dan produk darah (serum, platelet dll)
Ø skrining kehamilan
b.    Anti HBs (antobodi terhadap hepatitis B surface antigen): jika hasilnya “reaktif/positif” menunjukkan adanya kekebalan terhadap infeksi virus hepatitis B yang berasal dari vaksinasi ataupun proses penyembuhan masa lampau.
c.    anti HBc (antibodi terhadap antigen inti hepatitis B): terdiri dari 2 tipe yaitu Anti HBc IgM dan Anti HBc IgG. Anti HBc IgM: - muncul 2 minggu setelah HBsAg terdeteksi dan bertahan hingga 6 bulan.












BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai virus Hepatitis B ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
a.    Virus Hepatitis B merupakan virus yang menginfeksi sel-sel hati.
b.    Virus Hepatitis B pertama kali ditemukan oleh Blumberg dkk pada tahun 1965.
c.    Virus Hepatitis B berlapis ganda dengan diameter 42 nm dan berbentuk bulat.
d.   Virus Hepatitis B bereproduksi dengan cara mereplikasi diri.
e.    Virus Hepatitis B dapat tertular melalui transfusi darah, menggunakan barang bersama, dan malalui hubungan seks.
f.     Virus Hepatitis B dapat dicegah dengan menghindari pemakaian jarum suntik bekas, menghindari pemakaian bersama sikat gigi, pisau cukur dan alat lainnya yang menimbulkan luka, serta mengindari berhubungan seks bebas.
B.  Saran
Saran yang dapat diberikan ialah kita perlu mengetahui dan memahami virus Hepatitis B ini dengan baik sehingga kita dapat menanggulangi virus ini bila kita sudah terinfeksi dan melakukan pencegahan bila kita belum terinfeksi oleh virus ini.









MORTALITAS DAN MORBIDITAS PENDUDUK SULSEL

  
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu di antara tiga komponen demografi yang dapat mempengaruhi perubahan penduduk. Dua komponen demografi lainnya adalah fertilitas (kelahiran)  dan migrasi. Informasi tentang kematian penting, tidak saja bagi pemerintah melainkan juga bagi pihak swasta, yang terutama berkecimpung dalam bidang ekonomi dan kesehatan.
Data  kematian sangat diperlukan antara lain untuk proyeksi penduduk guna perencanaan pembangunan.Misalnya, perencanaan fasilitas perumahan, fasilitas pendidikan, dan jasa-jasa lainnya untuk kepentingan masyarakat.Data kematian juga diperlukan untuk kepentingan evaluasi terhadap program-program kebijaksanaan penduduk.
Konsep mati perlu diketahui guna mendapatkan data kematian yang benar.Dengan kemajuan ilmu kedokteran, kadang-kadang sulit untuk membedakan keadaan mati dan keadaan hidup secara klinik.Apabila pengertian mati tidak dikonsepkan, dikhawatirkan bisa terjadi perbedaan penafsiran antara berbagai orang tentang kapan seseorang dikatakan mati.
Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia (kompas 2006). Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat kesehatan bangsa, sebab anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki kemampuan yang dapat di kembangkan dalam meneruskan pembangunan bangsa. Berdasarkan alasan tersebut, masalah kesehatan anak diprioritaskan dalam perencanaan atau penataan pembangunan bangsa (kompas 2006).
Dalam menentukan derajat kesehatan di Indonesia, terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan antara lain angka kematian bayi, angka kesakitan bayi, status gizi, dan angka harapan hidup waktu lahir. Angka kematian bayi menjadi indikator pertama dalam menentukan derajat kesehatan anak (WHO, 2002) karena merupakan cerminan dari status kesehatan anak saat ini. Angka kematian bayi dan balita di Indonesia adalah tertinggi di negara ASEAN. Sedangkan angka kesakitan bayi menjadi indikator ke dua dalam menentukan derajat kesehatan anak, karena nilai kesakitan merupakan cerminan dari lemahnya daya tahan tubuh bayi dan anak balita.
Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tergolong tinggi, jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN. Berdasarkan Human Development Report 2010, AKB di Indonesia mencapai 31 per 1.000 kelahiran. Angka itu, 5,2 kali lebih tinggi dibandingkan Malaysia. Juga, 1,2 kali lebih tinggi dibandingkan Filipina dan 2,4 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan Thailand.
Departemen Kesehatan (Depkes) mengungkapkan rata-rata per tahun terdapat 401 bayi baru lahir di Indonesia meninggal dunia sebelum umurnya genap 1 tahun. Data bersumber dari survei terakhir pemerintah, yaitu dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007 (SDKI). Selaras dengan target pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), Depkes telah mematok target penurunan AKB di Indonesia dari rata-rata 36 meninggal per 1.000 kelahiran hidup menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup pada 2015. Berdasarkan SDKI telah terjadi penurunan AKB secara signifikan selama 4 tahun survei dari 66 per 100 kelahiran hidup pada tahun 1994 menjadi 39 per 100 kelahiran hidup pada tahun 2007. Provinsi Jawa Barat tercatat sebagai daerah paling tinggi angka kematian bayi dan balita setelah NTT (Nusa Tenggara Timur) dan Papua.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012,  angka kematian ibu (AKI) melonjak drastis 359 per 100.000 kelahiran hidup. Sebelumnya, AKI dapat ditekan dari 390 per 100.000 kelahiran hidup (1991) menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2007). Selain AKI, angka kematian bayi (AKB) juga masih tinggi, 32 per 1.000 kelahiran hidup. Angka itu hanya turun sedikit dari AKB SDKI 2007 yang 34 per 1.000 kelahiran hidup.
Hasil pengumpulan data profil kesehatan oleh Dinas Kesehatan Kab/Kota di sulawesi selatan tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah kematian bayi mengalami peningkatan menjadi 868 bayi atau 5.90 per 1000 kelahiran hidup dibandingkan 2010 yang hanya 824 kasus Sementara, untuk angka kematian ibu pada 2011 tercatat 116 kasus. Jumlah kematian balita yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kab/Kota di Sulawesi selatan pada tahun 2012 sebanyak 25 bayi setiap 1000 kelahiran hidup.
B.   Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian dari morbiditas dan mortalitas penduduk ?
2.    Apa saja faktor penyebab terjadinya mortalitas penduduk ?
3.    Apa saja Penyakit terbesar penyebab morbiditas dan mortilitas ?
4.    Dari mana saja sumber data kematian diperoleh ?
5.    Apa indikator morbiditas dan mortalitas?
6.    Bagaimana perkembangan angka mortalitas di indonesia ?
7.    Bagaimana proporsi mortalitas menurut kelompok ?
8.    Bagaimana pengaruh mortalitas terhadap kesehatan masyarakat ?
9.    Apa upaya pemerintah dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penduduk ?
C.  Tujuan
a.    Tujuan umum
1.    Mengetahui Mortalitas dan Morbiditas Penduduk.
b.   Tujuan khusus
1.    Mengetahui pengertian morbiditas dan mortalitas penduduk.
2.    Mengetahui faktor penyebab terjadinya mortalitas penduduk.
3.      Mengetahui Penyakit terbesar penyebab morbiditas dan mortilitas.
4.      Mengetahui sumber data kematian.
5.      Mengetahui dan memberikan contoh indikator morbiditas dan mortalitas.
6.      Mengetahui perkembangan angka mortalitas di indonesia.
7.      Mengetahui  proporsi mortalitas menurut kelompok.
8.      Mengetahui pengaruh mortalitas terhadap kesehatan masyarakat.
9.      Mengetahui upaya pemerintah dalam menurunkan angka mortalitas penduduk.












BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Mortalitas Dan Morbiditas Penduduk
Menurut PBB dan WHO, kematian adalah hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Still birth dan keguguran tidak termasuk dalam pengertian kematian. Perubahan jumlah kematian (naik turunnya) di tiap daerah tidaklah sama, tergantung pada berbagai macam faktor keadaan. Besar kecilnya tingkat kematian ini dapat merupakan petunjuk atau indikator bagi tingkat kesehatan dan tingkat kehidupan penduduk di suatu wilayah.
Morbiditas dalam arti sempit dimaksudkan sebagai peristiwa sakit atau kesakitan, sedangkan dalam arti luas morbiditas mempunyai pengertian yang jauh lebih kompleks, tidak saja terbatas pada statistic atau ukuran tentang peristiwa-peristiwa tersebut, tetapi juga factor yang mempengaruhinnya (determinant factors), seperti factor sosial, ekonomi, dan budaya.
Ukuran kematian merupakan angka atau indeks, yang di pakai sebagai dasar untuk menentukan tinggi rendahnya tingkat kematian suatu penduduk.Ada berbagai macam ukuran kematian, mulai dari yang paling sederhana sampai yang cukup kompleks.Namun demikian perlu di catat bahwa keadaan kematian suatu penduduk tidaklah dapat diwakili oleh hanya suatu angka tunggal saja.Biasanya berbagai macam ukuran kematian di pakai sekaligus guna mencerminkan keadaan kematian penduduk secara keseluruhan.
Ukuran morbiditas dan mortalitas digunakan sebagai dasar untuk menentukan tinggi rendahnnya tingkat kesakitan dan kematian suatu komunitas penduduk. Adanya beberapa ukuran kesakitan dan kematian yang dikenal,dari yang paling sederhana sampai dengan yang cukup kompleks Angka kematian (Mortalitas) dan angka kesakitan (Morbiditas) digunakan untuk menggambarkan pola penyakit yang terjadi di masyarakat. Kegunaan dari mengetahui angka kesakitan dan kematian ini adalah sebagai indikator yang digunakan sebagai ukuran derajat kesehatan untuk melihat status kesehatan penduduk dan keberhasilan pelayanan kesehatan serta upaya pengobatan yang dilakukan. Data kematian yang terdapat pada komunitas dapat diperoleh melalui survei, karena sebagian besar kematian terjadi di rumah, sedangkan data kematian pada fasilitaspelayanan kesehatan hanya memperlihatkan kasus rujukan.
Konsep-konsep lain yang terkait dengan pengertian mortalitas adalah:
1.    Neo-natal death adalah kematian yang terjadi pada bayi yang belum berumur satu bulan.
2.    Lahir mati (still birth) atau yang sering disebut kematian janin (fetal death) adalah kematian sebelum dikeluarkannya secara lengkap bayi dari ibunya pada saat dilahirkan tanpa melihat lamanya dalam kandungan.
3.    Post neo-natal adalah kematian anak yang berumur antara satu bulan sampai dengan kurang dari satu tahun.
4.    Infant death (kematian bayi) adalah kematian anak sebelum mencapai umur satu tahun.
B.   Faktor Penyebab Morbiditas Dan Mortalitas
Angka kematian bayi dan balita di Indonesia adalah tertinggi di negara ASEAN. Tiap tahun 12,9 juta anak meninggal, 28% kematian di sebabkan karna pneumania, 23% karena penyakit diare, dan 16% karena penyakit tidak memperoleh vaksinasi. Penyebab angka kesakitan dan kematian anak terbanyak saat ini masih diakibatkan oleh pneumonia dan diarre. Pencegahan sederhana dan dapat di peroleh seperti vaksin, antibiotik, terapi rehidrasi oral, kontrasepsi, dapat mencegah 25-90% kematian karena penyebab spesifik. Secara keseluruhan 65% kematian anak bisa di cegah dengan biaya murah.
Penyebab-penyebab kematian Ibu dan Bayi  dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:
1.    Pendidikan
Angka Kematian Ibu yang begitu tinggi salah satunya karena tingkat pendidikan para ibu di Indonesia yang masih sangat rendah. Jika kita melihat dari jenjang pendidikan, data Badan Pusat Statistik tahun 2010 menyatakan bahwa mayoritas ibu di Indonesia tidak memiliki ijazah SD, yakni sebesar 33,34 persen. Selanjutnya sebanyak 30,16% ibu hanya memiliki ijazah SD atau sederajat. Dan hanya terdapat 16,78% ibu yang berpendidikan setara SMA. Hanya 7,07% ibu yang berpendidikan perguruan tinggi.
Penyerapan informasi yang beragam dan berbeda sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seorang ibu. Latar pendidikan formal serta informal akan sangat berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan para ibu mulai dari segi pikiran, perasaan maupun tindakannya.
Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi calon ayah dan calon ibu akan mampu merncanakan kehamilan dengan baik sehingga bisa terhindar dari 4 Terlalu yaitu melahirkan terlalu muda (dibawah 20 tahun), terlalu tua (diatas 35 tahun), terlalu dekat (jarak melahirkan kurang dari 2 tahun) dan terlalu banyak (lebih dari 4 kali).
Dalam penanganan kehamilan dan persalinan pun pendidikan akan sangat penting agar bisa terhindar dari faktor risiko 3 Terlambat yaitu terlambat mengambil keputusan di tingkat keluarga, terlambat merujuk/ transportasi dan terlambat menangani dan Terlambat mendapat pelayanan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ibu, maka akan semakin tinggi pula kesadaran mereka terhadap proses pra kehamilan dan pasca kehamilannya, sehingga untuk menjaga agar dirinya sehat dalam masa kehamilan maka ibu tersebut pasti akan melaporkan dan memeriksakan dirinya kepada tenaga medis yang ahli dibidangnya. Dan sebaliknya, jika pendidikan seorang ibu rendah seperti yang banyak terjadi di Indonesia, maka kesehatannya selama masa kehamilan tidak begitu diperhatikan. Oleh sebab itu banyak terjadi kematian pada ibu melahirkan yang disebabkan kesadaran akan kesehatan yang rendah.
2.    Lingkungan
Lingkungan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi KIA. Banyak aspek yang mempengaruhi KIA yang dapat dilihat dalam suatu lingkungan. Dalam hubungannya dengan meningkatnya kasus kematian ibu (hamil, melahirkan dan nifas), lingkungan yang dibahas adalah aspek geografis. Kondisi geografis suatu lingkungan mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat di lingkungan itu sendiri. Kondisi lingkungan yang tidak mendukung, seperti sulit terjangkau oleh sarana transportasi tentu saja mengakibatkan sulitnya sarana dan tenaga kesehatan untuk menjangkau daerah tersebut. Imbasnya, kondisi kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut akan terbengkalai, masyarakat akan minim dalam sarana kesehatan, dan banyak ibu yang mengalami kesulitan selama masa kehamilan, melahirkan dan juga nifas, sehingga angka kematian ibu (hamil, melahirkan dan nifas) akan terus bertambah besar.
3.    Ekonomi
Kondisi keuangan yang tidak mencukupi tentu menyulitkan para ibu (hamil, melahirkan dan nifas)  untuk memperoleh fasilitas kesehatan yang memadai. Oleh sebab itu, mereka cenderung tidak memeriksakan kesehatan dirinya pra kehamilan hingga pasca kehamilan. Akibatnya, banyak ibu yang meninggal saat melahirkan karena penyakit yang baru diketahui ketika akan melahirkan.
4.    Minimnya Tenaga Medis
Salah satu faktor tingginya AKI di Indonesia adalah disebabkan karena relatif masih rendahnya cakupan pertolongan oleh tenaga kesehatan. Departemen Kesehatan menetapkan target 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga medis pada tahun 2010. Perbandingan dengan hasil survei SDKI bahwa persalinan yang ditolong oleh tenaga medis profesional meningkat dari 66 persen dalam SDKI 2002-2003 menjadi 73 persen dalam SDKI 2007. Angka ini relatif rendah apabila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
Dengan cukupnya tenaga medis diharapkan persoalan berupa kevalidtan data dan kasus yang tidak tersentuh dapat dikurangi sehingga dapat mengurangi angka AKI.
5.    Adat Istiadat
Pada kasus kematian ibu akibat perdarahan faktor budaya yang berpengaruh terhadap tingginya angka kematian ibu adalah kecenderungan bagi ibu di perdesaan dan keluarga miskin untuk melahirkan dengan bantuan dukun beranak, bukan dengan bantuan petugas medis yang telah disediakan. Ada pula tradisi suku tertentu yang mengharuskan ibu nifas ditempatkan dalam suatu tempat yang dapat dikatakan kurang higienis.
C.  Penyakit Penyebab Morbiditas Dan Mortalitas Di Indonesia
a.    ISPA dan Pneumonia
Di Indonesia, angka kejadian pneumonia pada balita adalah sekitar 10-20% per tahun. Angka kematian pneumonia pada balita di Indonesia adalah 6 per 1000 balita. Ini berarti dari setiap 1000 balita setiap tahun ada 6 orang diantaranya yang meninggal akibat pneumonia. Jika dihitung, jumlah balita yang meninggal akibat pneumonia di indonesia dapat mencapai 150.000 orang per tahun, 12.500 per bulan, 416 per hari, 17 orang per jam atau 1 orang balita tiap menit. Usia yang rawan adalah usia bayi (dibawah 1 tahun), karena sekitar 60-80% kematian pneumonia terjadi pada bayi.
Secara umum, ada 3 faktor resiko ISPA, yaitu keadaan sosial ekonomi dan cara mengasuh atau mengurus anak, keadaan gizi dan cara pemberian makan, serta kebiasaan merokok dan pencemaran udara. Pencegahan ISPA dan Pneumonia yaitu dengan cara pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif, sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi DPT, 6% kematian pneumonia dapat dicegah. Secara umum dapat dikatakan bahwa pencegahan ISPA adalah dengan hidup sehat, cukup gizi, menghindari polusi udara dan pemberian imunisasi lengkap.
b.   Diare
Diare merupakan salah satu masalah kesehatan utama di negara berkembang, termasuk indonesia. Di Indonesia, penyakit diare adalah salah satu penyebab kematian utama setelah infeksi saluran pernafasan. Angka kematian akibat diare di Indonesia masih sekitar 7,4%. Sedangkan angka kematian akibat diare persisten lebih tinggi yaitu 45% (solaiman, EJ, 2001). Sementara itu, pada survei morbiditas yang dilakukan oleh depkes tahun 2001, menemukan angka kejadian diare di indonesia adalah berkisar 200-374 per 1000 penduduk. Sedangkan menurut SKRT 2004, angka kematian akibat diare 23 per 100 ribu penduduk dan angka kematian akibat diare pada balita adalah 75 per 100.000 balita.
Insiden penyakit diare yang berkisar antara 200-374 dalam 1000 penduduk, dimana 60-70% diantaranya anak-anak usia dibawah 5 tahun. Penyakit diare ini adalah penyakit yang multi faktoral, dimana dapat muncul karena akibat tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang kurang serta akibat kebiasaan atau budaya masyarakat yang salah. Oleh karena itu, keberhasilan menurunkan serangan diare sangat tergantung dari sikap setiap anggota masyarakat, terutama membudayakan pemakaian larutan oralit dan cairan rumah tanggapada anak yang menderita diare.
Saat ini sedang digalakkan dan dikembangkan pada masyarakat luas untuk menanggulangi diare dengan upaya rehidrasi oral (oralit) dan ternyata dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan karena diare.
c.    Berat Badan Rendah (BBLR)
Berat Badan Lahir Rendah (kurang dari 2.500 gram) merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal. BBLR dibedakan atas 2 kategori yaitu BBLR karena premature dan BBLR karena intrauterine growth retardation (IUGR), yaitu bayi yang lahir cukup bulan tetapi berat badannya kurang. Di negara berkembang banyak BBLR karena IUGR karena ibu berstatus gizi buruk, anemia, malaria dan menderita penyakit menular  seksual(PMS) sebelum konsepsi atau saat kehamilan.
d.   Afiksia (Kesulitan Bernafas saat Lahir)
Afiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara sepontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Pernafasan spotan BBL tergantung pada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Bila terdapat gangguan dan pertukaran gas tau pengangkutan O2 selama kehamilan atau persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian.
e.    Masalah nutrisi dan infeksi
Infeksi neonatus sering dijumpai sebagai gangguan neonatus dimana di Indonesia merupakan masalah yang gawat. Infeksi neonatus adalah penyakit pada bayi baru lahir dengan umur kurang dari 1 bulan, bayi-bayi yang terkena infeksi menunjukan dengan kriteria-kriteria diagnosis. Infeksi neonatus merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi-bayi baru lahir. Infeksi pada neonatus merupakan salah satu penyebab tertinggi terhadap terjadinya morbiditas  dan mortalitas selama periode ini. Lebih kurang 2% janin dapat terinfeksi in utero dan 10% bayi baru lahir terinfeksi selama persalinan atau dalam bulan pertama kehidupan.
f.     DHF
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang termasuk golongan Arbovirus  melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina. Gejala klinis DHF (dengue hemoragic fever) dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu derajat I ditandai adanya panas 2-7 hari dengan gejala umumnya tidak khas, tetapi uji tourniquet positif; derajat II sama seperti derajat I, tetapi sudah ada tanda-tanda perdarahan spontan, seperti petekie, ekimosa, epitaksis, hematemesis, melena, perdarahan gusi, telinga, dan lain-lain; derajat III ditandai adanya kegagalan dalam peredaran darah, seperti adanya nadi lemah dan cepat serta tekanan darah menurun; dan derajat IV ditandai adanya nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur, akral dingin, berkeringat, dan adanya sianosis. Kadang-kadang dijumpai gejala seperti pembesaran hati, adanya nyeri, asites, dan tanda-taanda ensefalopati, seperti kejang, gelisah, sopor, dan koma.
g.    Bronkitis
Bronkitis adalah infeksi pada bronkus yang berasal dari hidung dan tenggorokan. Bronkus merupakan suatu pipa sempit yang berawal pada trakea, yang menghubungkan saluran pernafasan atas, hidung, tenggorokan, dan sinus ke paru. Gejala bronkitis umumnya diawali dengan batuk pilek, akan tetapi jika infeksi ini telah menyebar ke bronkus, maka batuknya akan bertambah parah dan bertambah sifatnya.
h.   Kejang demam
Merupakan bangkitan kejang yang dapat terjadi karena peningkatan suhu akibat proses ekstrakranium dengan ciri terjadi antara usia 6 bulan – 4 tahun, lamanya kurang dari 15 menit dapat bersifat umum dan dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya demam. Pada kejang demam, wajah anak akan menjadi biru, matanya berputar-putar, dan anggota badannya akan brgetar dengan hebat.
Kejang demam sering terjadi pada anak di bawah usia satu tahun samai awal kelompok usia dua sampai lima tahun, karena pada usia ini otak anak sangat rentan terhadap peningkatan mendadak suhu badan. Sekitar sepuluh persen anak mengalami sekurang-kurangnya 1 kali kejang. Pada usia lima tahun, sebagian besar anak telah dapat mengatasi kerentanannya terhadap kejang demam
i.     Hiperbilirubinemia
Merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus, yang dikenal dengan ikterus neonatorum patologis. Hiperbilirubinemia yang merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular, sehingga konjungtiva kulit dan mukosa akan berwarna kuning. Keadaan tersebut juga berpotensi besar terjadi ikterus, yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak. Bayi yang mengalami bilirubinemia memiliki ciri sebagai berikut: adanya ikterus tejadi pada 24 jam pertama, peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg% atau lebih setiap 24 jam, konsentrasi bilirubin serum 10 mg% pada neonatus yang cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus yang kurang bulan, ikterus disertai dengan proses hemolisis kemudian ikterus yang disertai dengan keadaan berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernapasan dan lain-lain.
j.               Tetanus neonatorum
Merupakan tetanus yang terjadi pada bayi yang dapat disebabkan oleh adanya infeksi melalui tali pusat. Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium tetani yang bersifat anaerob, dimana kuman tersebut berkembang pada keadaan tanpa oksigen. Tetanus pada bayi dapat disebabkan karena tindakan pemotongan tali pusat yang kurang steril. Masa inkubasi penyakit ini antara 5-14 hari.
D.  Sumber Data Mortalitas
Cara mengetahui sumber data kematian dapat diperoleh dari berbagai macam sumber, antara lain :
1.    sistem registrasi vital
Apabila sistem ini bekerja dengan baik merupakan sumber data kematian  yang ideal. Di sini, kejadian kematian dilaporkan dan dicatat segera setelah peristiwa kematian tersebut terjadi. Di Indonesia, belum ada sistem registrasi vital yang bersifat nasional, yang ada hanya sistem registrasi vital yang bersifat bersifat lokal, dan inipun tidak sepenuhnya meliputi semua kejadian kematian pada kota-kota itu sendiri. Dengan demikian di Indonesia tidak mungkin memperoleh data kematian yang baik dari sistem registrasi vital.
2.    sensus atau survei penduduk
sensus atau survei penduduk merupakan kegiatan sesaat yang bertujuan untuk mengumpulkan data penduduk, termasuk pula data kematian. Berbeda dengan sistem registrasi vital, pada sensus atau survei kejadian kematian dicacat setelah sekian lama peristiwa kejadian itu terjadi. Data ini diperoleh melalui sensus atau survei dapat digolongkan menjadi dua bagian :
a.    Bentuk langsung (Direct Mortality Data)
Data kematian bentuk langsung diperoleh dengan menanyakan kepada responden tentang ada tidaknya kematian selama kurun waktu tertentu.Apabila ada tidaknya kematian tersebut dibatasi selama satu tahun terakhir menjelang waktu sensus atau survei dilakukan, data kematian yang diperoleh dikenal sebagai ‘Current mortality Data’.
b.    Bentuk tidak langsung (Indirect Mortalilty Data)
Data kematian bentuk tidak langsung diperoleh melalui pertanyaan tentang ‘Survivorship’ golongan penduduk tertentu misalnya anak, ibu, ayah dan sebagainya.Dalam kenyataan data ini mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan dengan data bentuk langsung. Oleh sebab itu data kematian yang sering dipakai di Indonesia adalah data kematian bentuk tidak langsung dan biasanya yaitu data ‘Survivorship’ anak. Selain sumber data di atas, data kematian untuk penduduk golongan tertentu di suatu tempat, kemungkinan dapat diperoleh dari rumah sakit, dinas pemakaman, kantor polisi lalu lintas dan sebagainya.
E.   Indikator Morbiditas Dan Mortalitas
a.    Indikator Morbiditas
1.    Incidence Rate
Incidence rate adalah frekuensi penyakit baru yang berjangkit dalam masyarakat di suatu tempat / wilayah / negara pada waktu tertentu.
Incidence Rate (IR):         Jumlah penyakit baru
                                                 -------------------------------------   x  k
     Jumlah populasi berisiko
2.    Prevelence Rate
Prevalence rate adalah frekuensi penyakit lama dan baru yang berjangkit dalam masyarakat di suatu tempat/ wilayah/ negara pada waktu tertentu. PR yang ditentukan pada waktu tertentu (misal pada Juli 2000) disebut Point Prevalence Rate. PR yang ditentukan pada periode tertentu (misal 1 Januari 2000 s/d 31 Desember 2000) disebut Periode Prevalence Rate
Prevalence Rate (PR):             Jumlah penyakit lama + baru
         ---------------------------------------- x k
Jumlah populasi berisiko
3.    Attack Rate
Attack Rate adalah jumlah kasus baru penyakit dalam waktu wabah yang berjangkit dalam masyarakat di suatu tempat/ wilayah/ negara pada waktu tertentu
Attack Rate (AR):       Jumlah penyakit baru
      ------------------------------------------ x    k
  Jumlah populasi berisiko (dalam waktu wabah berlangsung)
b.   Indikator Mortalitas
1.   Angka Kematian Kasar: jumlah semua kematian yang ditemukan pada satu jangka waktu (satu tahun) dibandingkan dengan jumlah penduduk pada pertengahan waktu yang bersangkutan dalam persen atau permil.
Rumus:                                      
AKK =   jumlah seluruh kematian               x 100%     
                                    Jumlah penduduk pertengahan
Contoh:
                        Di Desa Balusu dilaporkan 60 orang yang meninggal dunia akibat menderita berbagai penyakit.Sedang jumlah penduduk desa tersebut pada tanggal 1 Juli 2013 adalah 30.000 orang maka angka kematian kasarnya adalah.
                                                           60
                                             AKK=             X 100% = 0, 2%
                                                         3000
2.   Angka Kematian Bayi: jumlah seluruh kematian bayi (umur dibawah 1 tahun) pada satu jangka waktu (satu tahun) dibagi dengan jumlah seluruh kelahiran hidup.
Rumus:
AKB =   Jumlah seluruh kematian bayi     X  k
                                    Jumlah kelahiran bayi
3.    Angka Kematian Menurut Umur : Angka kematian menurut usia menunjukkan jumlah penduduk yang meninggal dunia dari seribu penduduk pada kelompok usia tertentu.
Rumus:
ASDR = jumlah penduduk yang meninggal pada kelompok usia t3 X  k
               jumlah penduduk pada kelompok usia tertentu
4.    Angka Kasus Fatal: jumlah seluruh kematian karena satu penyebab dalam jangka waktu tertentu dibagi dengan jumlah seluruh penderita pada waktu yang sama.
Rumus:
                                    Jumlah seluruh kematian karena penyakit tertentu
                     AKF =                                                                                                   X  k
                                           Jumlah seluruh penderita penyaklit tertentu
5.   Angka Kematian Neonatal: jumlah angka kematian bayi usia dibawah usia 28 hari pada jangka waktu (satu tahun) dibagi jumlah kelahiran hidup pada jangka waktu tahun yang sama.
Rumus:
                                 Jumlah kematian bayi usia di bawah 28 hari
                     AKN =                                                                                       X  k
                                        Jumlah kelahiran hidup Pada tahun yang sama
6.   Angka Kematian Pranatal: jumlah kematian bayi 1 minggu dalam satu tahun dibagi dengan jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama .
 Rumus:
                                                Jumlah kematian bayi usia 1minggu per tahun          
                     AKP =                                                                                                      X k 
                                                     Jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama
7.   Angka Kematian Ibu: jumlah kematian ibu karena kehamilan, persalinan, dan nifas dalam satu tahun dibagi dengan jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama.
Rumus:
                                       Jumlah kematian ibu karena kehamilan,
                                                     kelahiran dan nifas            
                     AKI =                                                                                              X k
                                     Jumlah kelahiran hidup pada tahun yg sm
F.   Angka Kematian Di Indonesia
Angka kematian masyarakat dari waktu ke waktu dapat memberi gambaran perkembangan derajat kesehatan masyarakat. Ini dapat juga digunakan sebagai indikator penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan kesehatan lainnya. Angka kematian pada umumnya dapat dihitung dengan survei dan penelitian. Perkembangan tingkat kematian dan penyakit-penyakit penyebab utama yang terjadi di Indonesia.
1.    Angka Kematian Maternal Ibu di Indonesia
Kematian maternal menurut batasan dari The Tenth Revision of The International Classification of Diseases (ICD – 10) seperti dikutip dari tesis Arulita Ika Fibriana adalah kematian wanita yang terjadi pada saat kehamilan atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari lama dan lokasi kehamilan, disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan, atau yang diperberat oleh kehamilan tersebut, atau penanganannya, akan tetapi bukan kematian yang disebabkan oleh kecelakaan atau kebetulan.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992 angka kematian ibu (AKI) di Indonesia 425 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH) dan menurun menjadi 373 per 100.000 KH pada SKRT tahun 1995. Sedangkan pada SKRT yang dilakukan pada tahun 2001, angka kematian maternal kembali mengalami peningkatan yaitu sebesar 396 per 100.000 KH dan dari SDKI 2002 / 2003 angka kematian maternal menjadi sebesar 307 per 100.000 KH. Hal ini menunjukkan bahwa angka kematian maternal di Indonesia cenderung stagnan.
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi faktor penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menangani masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi lantaran indikasi yang lazim muncul. Yakni pendarahan, keracunan kehamilan yang disertai kejang-kejang, aborsi, dan infeksi. Namun, ternyata masih ada faktor lain yang juga cukup penting. Misalnya, pemberdayaan perempuan yang tak begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik, kebijakan juga berpengaruh. Kaum lelaki pun dituntut harus berupaya ikut aktif dalam segala permasalahan bidang reproduksi secara lebih bertanggung jawab. Selain masalah medis, tingginya kematian ibu juga karena masalah ketidaksetaraan gender, nilai budaya, perekonomian serta rendahnya perhatian laki-laki terhadap ibu hamil dan melahirkan. Oleh karena itu, pandangan yang menganggap kehamilan adalah peristiwa alamiah perlu diubah secara sosiokultural agar perempuan dapat perhatian dari masyarakat. Sangat diperlukan upaya peningkatan pelayanan perawatan ibu baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat terutama suami.
Berdasarkan data dari departemen kesehatan bahwa tiga faktor utama penyebab kematian ibu melahirkan yakni: pendarahan, hipertensi saat hamil atau pre eklamasi dan infeksi. Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu (28%), anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya pendarahan dan infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu. Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh pendarahan; proporsinya berkisar antara kurang dari 10% sampai hampir 60%. Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan pasca persalinan, namun  akan menderita akibat kekurangan darah yang berat (anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan.(WHO). Persentase tertinggi kedua penyebab kematian ibu yang adalah eklamsia (24%), kejang bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan. Hipertensi dapat terjadi karena kehamilan, dan akan kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil. (Profil Kesehatan Indonesia, 2007), sedangkan persentase tertinggi ketiga penyebab kematian ibu melahirkan adalah infeksi (11%).
Selain faktor-faktor tersebut, salah satu faktor tingginya AKI di Indonesia adalah disebabkan karena relatif masih rendahnya cakupan pertolongan oleh tenaga kesehatan. Departemen Kesehatan menetapkan target 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga medis. Perbandingan dengan hasil survei SDKI bahwa persalinan yang ditolong oleh tenaga medis profesional meningkat dari 66% dalam SDKI 2002-2003 menjadi 73% dalam SDKI 2007. Angka ini relatif rendah apabila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand di mana angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan hampir mencapai 90%. Apabila dilihat dari proyeksi angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan nampak bahwa ada pelencengan dari tahun 2004 dimana angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dibawah dari angka proyeksi, apabila hal ini tidak menjadi perhatian kita semua maka diperkirakan angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 90% pada tahun 2010 tidak akan tercapai, konsekuensi lebih lanjut bisa berimbas pada resiko angka kematian ibu meningkat. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian ibu mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Dalam survei yang sama, lima tahun lalu, angka kematian ibu hanya 228 per 100 ribu kelahiran hidup.Kondisi geografis, persebaran penduduk dan sosial budaya merupakan beberapa faktor penyebab rendahnya aksesibilitas terhadap tenaga pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, dan tentunya disparitas antar daerah akan berbeda satu sama lain.
2.    Angka Kematian Bayi
Pada 1960, Angka Kematian Bayi (AKB) Indonesia adalah 128 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini turun menjadi 68 per 1.000 kelahiran hidup pada 1989, 57 pada 1992 dan 46 pada 1995. Pada dekade 1990-an, rata-rata penurunan 5% per tahun, sedikit lebih tinggi daripada dekade 1980-an sebesar 4% per tahun.
Angka kematian Bayi di Indonesia memang mengalami penurunan per tahunnya, akan tetapi penurunan yang terjadi tersebut tidak membuat semua pihak merasa puas, karena walaupun terjadi penurunan tingkat kematian bayi, Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand.
Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya kematian bayi ada dua macam yaitu Endogen dan Eksogen, antara lain meliputi:
a.    Kematian bayi Endogen adalah kematian bayi yang terjadi pada pertama setelah melahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat setelah kehamilan.
b.    Kematian bayi Eksogen adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan.
Menurut hasil Surkesnas/Susenas, AKB di Indonesia pada tahun 2001 sebesar 50 per 1.000 kelahiran hidup, dan pada tahun 2002 sebesar 45 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKB menurut hasil SDKI 2002-2003 terjadi penurunan yang cukup besar, yaitu menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup sementara hasil SDKI 2007 hasilnya menurun lagi menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup, angka ini berada jauh dari yang diproyeksikan oleh Depkes RI yakni sebesar 26,89 per 1.000 kelahiran hidup. Adapun nilai normatif AKB yang kurang dari 40 sangat sulit diupayakan penurunannya (hard rock), antara 40-70 tergolong sedang, namun sulit untuk diturunkan, dan lebih besar dari 70 tergolong mudah untuk diturunkan.
Untuk di Sulawesi Selatan, Angka Kematian Bayi menunjukkan penurunan yang sangat tajam, yaitu dari 161 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1971 menjadi 55 pada tahun 1996, lalu turun lagi menjadi 52 pada tahun 1998 kemudian pada tahun 2003 menjadi 48 (Susenas 2003). Ini berarti rata-rata penurunan AKB selama kurun waktu 1998–2003 sekitar 4 poin. Namun, menurut hasil Surkesnas/Susenas 2002-2003, AKB di Sulawesi Selatan sebesar 47 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan hasil Susenas 2006 menunjukkan AKB di Sulsel pada tahun 2005 sebesar 36 per 1.000 kelahiran hidup, dan hasil SDKI 2007 menunjukkan angka 41 per 1.000 kelahiran hidup. Fluktuasi ini bisa terjadi oleh karena perbedaan besar sampel yang diteliti, sementara itu data proyeksi yang dikeluarkan oleh Depkes RI bahwa AKB di Sulsel pada tahun 2007 sebesar  27,52 per kelahiran hidup. Sementara laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bahwa jumlah kematian bayi pada tahun 2006 sebanyak 566 bayi, atau 4,32 per 1000 kelahiran hidup, mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 709 kematian bayi atau 4,61 per 1.000 kelahiran hidup. Untuk tahun 2008 ini jumlah kematian bayi turun menjadi 638 atau 4,39 per 1000 kelahiran hidup. Hasil pengumpulan data profil kesehatan oleh Dinas Kesehatan Kab/Kota di sulawesi selatan tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah kematian bayi mengalami peningkatan menjadi 868 bayi atau 5.90 per 1000 kelahiran hidup dibandingkan 2010 yang hanya 824 kasus
Sebab kematian pada anak. Tiga penyebab utama kematian bayi menurut SKRT 1995 adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), komplikasi perinatal, dan diare. Gabungan ketiga penyebab ini memberi andil bagi 75% kematian bayi. Pada 2001 pola penyebab kematian bayi ini tidak banyak berubah dari periode sebelumnya, yaitu karena sebab-sebab perinatal, kemudian diikuti oleh ISPA, diare, tetanus neotarum, saluran cerna, dan penyakit saraf. Pola penyebab utama kematian balita juga hampir sama (penyakit saluran pernafasan, diare, penyakit saraf-termasuk meningitis dan encephalitis-dan tifus).
3.    Angka Kematian Balita (AKABA)
Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah anak yang dilahirkan pada tahun tertentu dan meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun, dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup. AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak dan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan anak Balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan, indikator ini menggambarkan tingkat kesejahteraan sosial, dalam arti besar dan tingkat kemiskinan penduduk, sehingga kerap dipakai untuk mengidentifikasi kesulitan ekonomi penduduk. Adapun nilai normatif AKABA yakni lebih besar dari 140 tergolong sangat tinggi, antara 71-140 sedang dan kurang dari 71 rendah.
Angka Kematian Balita di Indonesia (menurut estimasi SUPAS 1995) dalam beberapa tahun terakhir (kecuali tahun 2001) terlihat mengalami penurunan yang cukup bermakna. Pada tahun 1986 AKABA diperkirakan sebesar 111 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 81 pada tahun 1993 dan turun lagi menjadi 44,7 pada tahun 2000 sementara untuk Sulawesi Selatan, pada tahun yang sama berada dibawah rata-rata nasional yakni sebesar 42,16 per 1.000 kelahiran hidup.
Laporan bersama oleh Dana Anak-anak PBB (UNICEF), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Bank Dunia ini mendapati pada tahun 2012 sekitar 6,6 juta anak meninggal sebelum mencapai usia lima tahun dibandingkan 12 juta anak yang meninggal pada tahun 1990. Menurut hasil SUSENAS 2001 AKABA diperkirakan sebesar 64 per 1.000 kelahiran hidup. Namun, hasil SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa AKABA di Sulawesi Selatan mencapai 72 per 1.000 kelahiran hidup dan menurun menjadi 53 per 1.000 kelahiran hidup menurut SDKI 2007. Jumlah kematian balita yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kab/Kota di Sulsel pada tahun 2006 sebanyak 148 balita atau 1,13 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan pada tahun 2007 jumlah kematian balita dilaporkan sebanyak 105 balita atau 1,33 per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2008 jumlah kematian balita dilaporkan mengalami peningkatan menjadi  396 balita atau 2,73 per 1000 kelahiran hidup. Jumlah kematian balita yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kab/Kota di Sulawesi selatan pada tahun 2012 sebanyak 25 bayi setiap 1000 kelahiran hidup.
G.  Proporsi Kematian Di Indonesia
Perbandingan proporsi penyebab kematian di tahun dari tahun 1995-2007 jika dikategorikan menurut empat kelompok besar diperoleh hasil analisis trendnya sebagai berikut: 1) Kelompok yang mengalami trend menurun paling tajam adalah kelompok penyakit menular (rata-rata turun sekitar 1% per tahun); 2) Kelompok yang mengalami trend meningkat paling signifikan adalah kelompok penyakit tidak menular (rata-rata naik sekitar 1,5% per tahun); dan 3) Kelompok gangguan perinatal/maternal dan kelompok cedera relatif tetap.
Berdasarkan perbandingan kelompok daerah diperoleh pola mortalitas antara pedesaan dan perkotaan yang relatif sama. Akan tetapi ada satu yang cukup signifikan dalam hasil trendnya yaitu pada kelompok gangguan perinatal/maternal di pedesaan antara tahun 2001 – 2007 malah cenderung meningkat dari 5,7% menjadi 7,7% sedangkan di perkotaan menurun dari 6,5% menjadi 4,5%.
Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa distribusi angka kematian akan semakin meningkat atau berbanding lurus dengan bertambahnya umur. Penyebab kematian akibat cedera diprediksi akan semakin mengkhawatirkan. Selain itu ada indikasi bahwa risiko kematian masih lebih banyak mengancam kelompok bayi dan ibu melahirkan di wilayah pedesaan dibandingkan di perkotaan. Sedangkan transisi epidemiologis akan kian terlihat jelas merujuk pada trend kelompok penyakit menular cenderung makin kecil sebagai penyebab kematian dibandingkan kelompok penyakit tidak menular. Kemungkian besar pola tersebut dapat makin diperberat oleh adanya transisi demografi, mobilitas yang semakin tinggi dan perubahan perilaku atau life style dari penduduk.
H.    Pengaruh Mortalitas Terhadap Kesehatan Masyarakat
Di dalam studi ilmu kependudukan terdapat sebuah komponen yang ikut mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk di suatu wilayah yaitu kematian atau mortalitas.Peristiwa kematian dapat disebabkan oleh banyak faktor salah satunya adalah kesehatan.Suatu korelasi timbal balik antara mortalitas dengan kesehatan masyarakat ada dua macam, yaitu korelasi yang bersifat positif atau menguntungkan maupun korelasi yang bersifat negative atau merugikan.
Korelasi yang bersifat positif atau menguntungkan antara mortalitas dengan kesehatan masyarakat adalah dengan adanya mortalitas maka kelajuan pertumbuhan penduduk yang tidak dapat terkendali dapat ditekan dan secara otomatis kepadatan penduduk pun dapat berkurang sehingga terjadi pula perubahan fungsi lahan yang semula untuk perumahan menjadi fungsi lain yang lebih bermanfaat misalnya pertanian, lahan perkebunan, sumber lapangan pekerjaan, dan lain-lain. Dengan demikian kesejahteraan penduduk akan semakin meningkat begitu pula derajat kesehatan masyarakat. Sebagai ilustrasi pada suatu wilayah yang padat penduduknya maka letak bangunan yang satu dengan lainnya saling berhimpitan sehingga menimbulkan banyak permasalahan kesehatan, seperti sanitasi yang kurang memadai, kurangnya lahan sumber oksigen (tumbuh-tumbuhan), dan sebagainya.
Korelasi yang bersifat negative atau merugikan antara mortalitas dengan kesehatan masyarakat adalah terkait penyebab kematian di suatu wilayah itu sendiri.Dalam studi ilmu kesehatan masyarakat dipelajari berbagai faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat atau lebih dikenal dengan teori H.L. Blum, diantaranya adalah karena faktor perilaku individu atau masyarakat, pelayananan kesehatan, lingkungan, dan genetik. Kematian dapat disebabkan karena perilaku dan pola hidup yang tidak bersih dan sehat sehingga menimbulkan penyakit, apabila penyakit tersebut menyebar ke masyarakat maka dapat terjadi kematian penduduk dalam jumlah yang banyak. Kedua, kematian dapat disebabkan oleh pelayanan kesehatan yang kurang memadai, hal ini terkait dengan kebijakan kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti adanya penyelewengan dana penyediaan alkes, pembagian jamkesmas yang tidak merata dan sesuai sasaran menyebabkan terjadinya kematian penduduk terutama penduduk yang ada di bawah garis kemiskinan. Ketiga, banyak penyakit yang bersumber dari lingkungan.Misalnya, lingkungan yang kumuh memiliki sedikit sumber oksigen (tumbuh-tumbuhan), sedikitnya lahan untuk membuang sampah rumah tangga sehingga mencemari tanah, air, dan udara. Keempat, banyaknya kematian juga dipengaruhi oleh factor genetic, di mana seorang bayi yang lahir cacat bahkan meninggal dunia dapat diakibatkan oleh gen orang tua yang mengandungnya, misalnya sang orang tua tidak gemar mengkonsumsi nutrisi yang baik bagi kandungannya atau terdapat penyakit keturunan yang dibawa oleh orang tuanya.
I.     Upaya Pemerintah Menurunkan Angka Kematian Di Indonesia
1.    Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan pemerintah pelayanan kesehatan.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan serta pemerintahan pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat telah di lakukan berbagai upaya, salah satunya adalah dengan meletakkan dasar pelayanan kesehatan pada sektor pelayanan dasar. Pelayanan dasar dapat dilakukan di perpustakaaan  induk, perpustakaan pembantu, posyandu, serta unit-unit yang berkaitan di masyarakat. Bentuk pelayanan tersebut dilakukan dalam rangka jangkauan pemerataan pelayanan kesehatan. Upaya pemerataan tersebut dapat dilakukan dengan penyabaran bidan desa, perawat komuniksi, fasilitas balai kesehatan, pos kesehatan desa dan puskesmas keliling.
2.    Meningkatkan status gizi masyarakat
Peningkatkan status gizi masyarakat merupakan merupakan bagian dari upaya untik mendorong terciptanya perbaikan status kesehatan. Dengan pemerintah gizi yang baik diharapkan pertumbuhan dan perkembangan anak akan baik pula, disamping dapat memperbaiki status kesehatan anak. Upaya tersebut dapat dilakukan malalui berbagai kegiatan, di antaranya upaya perbaikan gizi keluarga atau dikenal dengan nama UPKG. Kegiatan UPKG tersebut didorong dan diarahkan pada peningkatan status gizi, khususnya pada masyarakat yang rawan atau memiliki resiko tinggi terhadap kematian atau kesakitan. Kelompok resiko tinggi terdiri anak balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan lansia yang golongan ekonominya rendah. Melalui upaya tersebut. Peningkatan kesehatan akan tercakup pada semua lapisan masyarakat khususnya pada kelompok resiko tinggi.
3.    Meningkatkan peran serta masyarakat
Peningktan Peran serta masyarakat dalam membantu ststus kesehatan  inin penting, sebab upaya pemerintah dalam rangka menurunkan kematian bayi dan anak tidak dapat dilakukan hanya oleh pemerintah, melainkan peran serta masyarakat dengan keterlibatan atau partisipasi secara langsung. Upaya masyarakat tersebut sangat menentukan keberhasilan program pemerintah sehingga mampu  mangatasi berbagai masalah kesehatan. Melalui peran serta masyarakat diharapkan mampu pula bersifat efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan. Upaya atau program kesehtan antara lain pelayanan imunisasi, penyedian air bersih, sanitasi lingkungan, perbaikan gizi dan lain-lain. Upaya tersebut akan memudahkan pelaksanaan program kesehatan yang tepat pada sasaran yang ada.
4.    Meningkatkan manajemen kesehatan 
Upaya meningkatan program pelayanan keshatan anak dapat berjalan dan berhasil dengan baik bila didukung dengan perbaikan dalam pengelolaan pelayanan kesehatan. Dalam hal ini adalah meningkatan manajemen pelayanan malalui pendayagunaan tenaga kesehatan profesional yang mampu secara langsung mengatasi masalah kesehatan anak. Tenaga kesehatan yang dimaksud antara lain tenaga perawat, bidan,dokter yang berada diperpustakaan yang secara langsung berperan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
J.    Usaha Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Anak Di Indonesia
pemerintah saat ini terus melakukan upaya menurunkan angka kematian ibu diantaranya dengan memberikan Jaminan Persalinan atau Jampersal yang mulai berlaku tahun ini. masyarakat akan mendapatkan jaminan pembiayaan pelayanan persalinan yang meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan Keluarga Berencana (KB) pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir. Selain itu pemerintah juga akan memperbanyak tenaga-tenaga medis dan juga puskesmas keliliing di daerah-daerah yang angka kematian ibu melahirkannya tinggi.
Persebaran tenaga bidan maupun dengan dokter yang akan lebih diperkuat lagi. Pada daerah-daerah terpencil dikembangkan yang namanya sister hospital. Di NTT misalnya dari 21 Kabupaten Kota, sudah 14 Kabupaten Kota yang sudah dibantu oleh fakultas-fakultas kedokteran yang mengirim perwakilannya yang sudah senior untuk menolong.
Untuk mengatasi angka kematian ibu yang tinggi di Indonesia, pemerintah mulai tahun ini juga akan melaksanakan program Emas atau Expanding Maternal and Newborn Survival yang bekerjasama dengan pemerintah Amerika Serikat. Program EMAS ini merupakan kerjasama antara Indonesia dengan AS melalui USAID yang berlangsung selama 5 tahun dari 2012-2016. Pendekatannya dengan meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan neonatal minimal di 150 RS pemerintah dan swasta serta 300 puskesmas atau balai kesehatan masyarakat. Dalam program ini, Amerika Serikat memberikan bantuan sebesar 55 juta dolar Amerika. Pada tahun 2012 program tersebut dilakukan di enam provinsi yang memiliki  70 persen kasus kematian ibu. Daerah tersebut adalah  Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat. Program Emas intinya satu, memperkuat pelayanan di tingkat puskesmas, yang kedua, pelayanan ditingkat rumah sakit dengan 24 jam. Para bidan, para dokter di wilayah tersebut ditingkatkan kemampuan bagaimana menolong persalinan. Yang kedua, bagamana cara pengiriman ibu yang mau melahirkan, mendiagnosis dengan tepat.
Pada dasawarsa terakhir ini, dunia internasional nampaknya benar- benar terguncang. Bagaimana tidak jika setiap tahun hampir sekitar setengah juta warga didunia harus menemui ajalnya karena persalinan. Dan nampaknya hal ini menarik perhatian yang cukup besar sehingga di lakukannya berbagai usaha untuk menanggulangi masalah kematian ibu ini.
Usaha tersebut terlihat dari beberapa program yang dilaksanakan oleh organisasi internsional misalnya program menciptkan kehamilan yang lebih aman (making pregnanci safer program) yang dilksanakn oleh WHO (World Health Organisation), atau program gerakan sayang ibu (safe Motherhood Program) yang dilaksanakan di Indonesia sebagai salah satu rekomendasi dari konferensi internasional di Mesir, Kairo tahun 1994. Selain usaha- usaha tersebut, ada pula beberapa konferensi internasional yang juga bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu seperti Internasional Conference on Population and Development, di Cairo, 1994 dan the World Conference on Women, di Beijing, 1995. (Rahima; Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak- hak perempuan, 2001).
Pemerintah indonesia dan UNICEF telah membuat kesepakatan untuk menurunkan tingkat kematian ibu di indonesia yang merupakan prioritas nomor satu dalam persetujuan kerjasamanya. Aus AID mendanai program Safe Motherhood di empat provinsi dengan tingkat kematian ibu yang tinggi dan tidak dapat ditolerir, yaitu Jawa Barat, Banten, Maluku, dan Papua.
Menanggapi tingginya tingkat kematan ibu melahirkan di provinsi- provinsi tersebut, program safe motherhood ditujukan untuk memperkuat kapasitas masyarakat dan dinas- dinas pemerintah di tingkat kabupaten dan yang lebih rendah, sehingga dapat mengurangi tingkat kematian ibu, bayi dan balita.
RAN PPAKI (Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu) memuat berbagai program kesehatan sebagai acuan setiap perencanaan kegiatan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dalam upaya menurunkan kematian ibu. Ada tiga strategi yang disiapkan dalam RAN PPAKAI ini, yakni peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu, peningkatan peran Pemerintah Daerah terhadap Peraturan yang dapat mendukung secara efektif pelaksanaan program dan pemberdayaan keluarga dan masyarakat.
Ketiga strategi tersebut juga dibarengi dengan tujuh program utama yang akan dijalankan. Pertama, penyediaan pelayanan kesehatan ibu dan anak di tingkat desa sesuai standar. Kedua, penyediaan fasilitas kesehatan di tingkat dasar yang mampu memberikan pertolongan persalinan sesuai standar selama 24 jam 7 hari seminggu. Ketiga, penjaminan seluruh Puskesmas Perawatan, Puskesmas Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) dan Rumah Sakit Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (RS PONEK) selama 24 jam 7 hari seminggu berfungsi sesuai standar.
Keempat, pelaksanaan rujukan efektif pada kasus komplikasi. Kemudian, perlu adanya penguatan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam tata kelola desentralisasi program kesehatan, seperti regulasi, pembiayaan, dan lain-lain. Keenam, pelaksanaan kemitraan lintas sektor dan swasta dan terakhir, peningkatan perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat melalui pemahanan dan pelaksanaan P4K serta Posyandu.
Program Utama Pemerintah Sulawesi Selatan terkait Upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam Renstrakes 2008-2013 1.
1.    Peningkatan Cakupan dan kualitas antenatal, kesehatan ibu dan pencegahan komplikasi, kesehatan ibu bersalin dan nifas, pelayanan KB, Penyuluhan kesehatan bagi ibu hamil dari keluarga kurang mampu, monitoring, evaluasi dan pelaporan
2.    Peningkatan Pelayanan Kesehatan Neonatus, Autopsi Verbal dan Audit Maternal Perinatal, Peningkatan Pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit, Peningkatan Pelayanan Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak, Peningkatan Pelayanan Kesehatan Anak Balita







BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.    Menurut PBB dan WHO, kematian adalah hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Morbiditas dalam arti sempit dimaksudkan sebagai peristiwa sakit atau kesakitan, sedangkan dalam arti luas morbiditas mempunyai pengertian yang jauh lebih kompleks
2.    Tiap tahun 12,9 juta anak meninggal, 28% kematian di sebabkan karna pneumania, 23% karna penyakit diarre, dan 16% karna penyakit tidak memeperoleh vaksinasi. Penyebab angka kesakitan dan kematian anak terbanyak saat ini masih diakibatkan oleh pneumonia dan diarre.
3.    Sumber data kematian dapat diperoleh dari sistem registrasi vital  dan sensus atau survei penduduk.
4.    Pengukuran tingkat kesakitan ada 3 yakni insidensi, prevelensi dan attack rate. Sedangkan pada mortalitas yaitu angka kematian Ibu, angka kematian bayi, angka kematian kasar, angka kematian karena penyakit tertentu, angka kematian pada golongan umur tertentu, angka kematian karena penyakit tertentu dan angka kematian neonatal.
5.    Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian ibu mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tergolong tinggi, jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN.
6.    Target pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), Depkes telah mematok target penurunan AKB di Indonesia dari rata-rata 36 meninggal per 1.000 kelahiran hidup menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup pada 2015.
7.      Upaya pemerintah dalam menurunkan angka kematian ibu dan anak di dindonesia diantaranya Program Imunisasi , Jaminan Persalinan (JAMPERSAL), Kebijakan ASI Eksklusif, Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS), Meningkatkan Kualitas Perawat atau Pelayanan Kesehatan dan Program Sistem Penjaminan Biaya Pelayanan Medik
B.     Saran
Di Indonesia masih banyak bayi yang mengalami kesakitan dan kematian karena salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah sosial ekonomi dan di indonesia masih banyak orang indonesia yang menderita kemiskinan apalagi yang terletak di bagian terpencil, oleh karena itu untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pada bayi dan balita seharusnya dilakukan penambahan lapangan kerja sehingga masyarakat di indonesia mudah dalam mencari lapangan pekerjaan, dan apabila lapangan pekerjaan sudah dapat maka status ekonomi mereka pun akan naik sehingga jumlah kemiskinan yang ada di Indonesia akan berkurang. Dengan demikian mereka akan mampu membiayai kehidupan mereka dan mereka akan mampu memberi gizi yang baik kepada anggota keluarga mereka atau pada bayi dan balita sehingga bayi dan balita di Indonesia yang mengalami morbiditas dan mortalitas akan berkurang.