menu

Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Kamis, 17 Juli 2014

SANITASI TEMPAT-TEMPAT UMUM (STTU)

TUGAS INDIVIDU JURNAL “SANITASI TEMPAT-TEMPAT UMUM (STTU)”
   NAMA     :        OSCARIANI PASERANG
    NIM         :        1110002/ KELAS A
BAGIAN EPIDEMIOLOGI & BIOSTATISTIK


Industri Rumah Tangga (IRT) di Indonesia memegang peran penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga, sehingga merupakan salah satu bagian yang penting dari perekonomian negara. Peran penting ini juga dilakukan oleh IRT Pangan. Menteri Perdagangan RI dalam sambutannya pada pembukaan Pameran Pangan Nusa 2007 di Jakarta tanggal 9 Agustus 2007, menyampaikan bahwa sektor industri pangan tidak saja menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang tetapi juga berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat yang terlibat di dalamnya.
Untuk data IRT sayangnya tidak terlalu dijelaskan akan tetapi IRT pangan sangatlah penting. Dengan demikian, IRT pangan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai ujung tombak perekonomian dan penyediaan pangan yang aman dan bermutu. Berbagai kendala dihadapi IRT dalam mengembangkan bisnisnya, antara lain akses terhadap modal dan fasilitas, kualitas sumberdaya manusia dan buruknya praktek sanitasi. Kendala-kendala tersebut telah memicu praktek produksi pangan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah dalam cara produksi pangan yang baik. Akibatnya berbagai isu keamanan pangan masih melekat erat pada produk pangan IRT. Penggunaan bahan kimia berbahaya untuk pengawet, penggunaan pewarna yang tidak diijinkan dan bahan kimia lainnya yang tidak diperkenankan untuk pangan, masih sering terjadi pada produk pangan IRT. Demikian juga, pemakaian bahan tambahan pangan yang berlebihan. Dampak penggunaan bahan kimia yang tidak diperkenankan untuk pangan, atau penggunaan bahana tambahan yang melebihi ketentuan tentu saja akan merugikan konsumen.
Dalam undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan, keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Lebih lanjut di dalam PP 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi pangan disebutkan bahwa persyaratan keamanan pangan adalah standar dan ketentuan-ketentuan lain yang harus dipenuhi untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya bahaya, baik karena cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Karena demikian berpengaruhnya keamanan pangan terhadap kesehatan dan produktivitas, maka keamanan pangan merupakan suatu persyaratan di dalam penyediaan pangan dan perdagangan. Di dalam Undang­undang pangan dinyatakan bahwa setiap orang dilarang memproduksi dan mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia, atau pangan yang mengandung bahan yang dilarang atau melampaui batas yang diizinkan dalam kegiatan atau proses produksi pangan.
Masalah keamanan pangan yang masih banyak ditemukan di Indonesia adalah beredarnya produk-produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, baik dari segi cemaran biologis maupun kimia seperti pestisida dan logam berat, maupun dari penggunaan bahan kimia yang dilarang untuk pangan atau bahan tambahan pangan yang digunakan melebihi batas maksimum yang ditetapkan. Terkait dengan keamanan produk pangan IRT, isu keamanan pangan yang masih sering muncul adalah penggunaan bahan kimia yang dilarang untuk pangan baik sebagai pengawet, maupun sebagai bahan tambahan untuk memperbaiki mutu produk. Laporan Food Watch tahun 2004 menyampaikan bahwa dari hasil analisis sampel yang dikirim oleh laboratorium Balai POM pada periode tahun 200 1-2003 ditemukan produk pangan yang mengandung bahan kimia yang tidak diperkenankan untuk pangan seperti formalin, borax dan rhodamin B. Rhodamin B ditemukan pada kerupuk, terasi, makanan ringan dan lain-lain (Gambar 1), boraks ditemukan pada mie basah, bakso, makanan ringan, kerupuk, mie kering dan lainnya, sedangkan formalin ditemukan pada mie basah, tahu dan lainnya. Rhodamin merupakan pewarna yang dilarang untuk makanan, biasanya digunakan untuk pewarna tekstil. Boraks digunakan untuk detergen, mengurangi kesadahan dan antiseptik lemah, sementara formalin diketahui sebagai pengawet mayat dan digunakan pada industri kayu, plastik dan industry non-pangan lainnya.
Sebanyak 59% sampel yang mengandung rhodamin B adalah produk yang tidak terdaftar dan 39% sampel dengan kode SP. Seluruh sampel pangan yang mengandung formalin berasal dari industri yang tidak terdaftar, sementara itu, 80% pangan yang mengandung boraks adalah produk yang tidak terdaftar dan 17% adalah pangan dengan kode SP. Data ini menunjukkan bahwa produk pangan yang mengandung bahan kimia yang tidak diperkenankan adalah produk IRT pangan. 
Beberapa laporan yang dipublikasi di media masa juga menunjukkan ditemukannya penggunaan bahan pengawet yang tidak diperkenankan dalam produk makanan, seperti formalin. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Universitas Gadjah Mada melaporkan adanya penggunaan formalin di beberapa industri mie basah di Kabupaten Bantul Yogyakarta (Kompas, 20/04/02). Demikian juga BPOM telah melaporkan bahwa lebih dari 80% mie basah yang dipasarkan di Bandung (dari 29 contoh yang diuji) mengandung formalin (Kompas, 6/03/03). Laporan lain yang dikeluarkan oleh Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) mengindikasikan penggunaan formalin dalam beberapa jenis makanan tradisional yang dipasarkan di Jakarta, yang di antaranya juga termasuk mie basah (Berita Iptek online, http://beritaiptek.com/messages/aktualnews). Pengujian oleh BPOM pada periode 2005 menunjukkan banyaknya produk pangan yang mengandung formalin. Salah satu kriteria beberapa produk pangan seperti mie basah adalah kekenyalan. Sayangnya, bahan pengenyal yang dilarang dalam makanan, baik disengaja ataupun tidak disengaja, kadang digunakan, di antaranya boraks. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Universitas Gadjah Mada melaporkan adanya kandungan boraks dalam mie basah di Kabupaten Bantul Yogyakarta (Kompas, 20/04/02). Demikian juga BPOM melaporkan hasil yang sama terhadap mie basah yang dipasarkan di Bandung (Kompas, 6/03/03). Survey yang dilakukan oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB (2005) menunjukkan bahwa seluruh sampel mie yang diperoleh dari pasar, baik tradisional maupun modern dan dari penjual makanan berbasis mie positif mengandung boraks.
Pada akhir tahun 2005, kasus penggunaan formalin menjadi isu yang sangat besar di Indonesia. Sebagaimana diberitakan di berbagai media, selain pada mie dan tahu, formalin juga ditemukan pada karkas ayam, ikan segar, ikan asin dan pangan lainnya. Pada awal tahun 2006 dibahas mengenai strategi pengendalian perdagangan formalin sebagai salah satu cara untuk mengatasi penggunaan dalam pangan. Pengawasan terhadap penggunaan formalin pun diperketat, baik oleh instansi berwenang maupun oleh masyarakat. Akibat maraknya pemberitaan mengenai penggunaan formalin pada pangan, banyak konsumen yang menghindari untuk membeli tahu segar maupun mie basah. Di satu sisi, pengetahuan konsumen telah memberikan kontribusi terhadap pengawasan keamanan pangan, namun di sisi lain, telah berdampak pada perekonomian. Pembeli yang berkurang secara drastis mengakibatkan UKM dan IRT pangan tersebut mengurangi produksinya atau bahkan menghentikan produksinya. Dampak juga dirasakan oleh penjual makanan berbasis mie basah. Walaupun peraturan tata niaga bahan berbahaya termasuk formalin sudah diatur, namun berita di harian Kompas (20/02/2007) menyebutkan bahwa formalin masih ditemukan pada berbagai produk pangan yang diuji atas inisiatif Litbang Kompas, yaitu tahu putih besar, tahu putih kecil, ikan teri asin, dan ikan gabus asin. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan formalin untuk pengawet pangan masih terus berlangsung. Mengapa pada pangan tersebut digunakan pengawet dalam hal ini formalin? Mie basah, tahu, karkas ayam dan ikan merupakan pangan yang mudah rusak. Bahan pangan tersebut mengandung nutrisi lengkap dengan pH netral sampai basa (misalnya pada mie basah dengan kisaran pH 8-9), dan memiliki kadar air atau aw (aktivitas air) yang tinggi, sehingga merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Suhu di Indonesia juga mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Tanpa pendinginan atau penambahan pengawet, umur simpan mie basah yang diproduksi oleh IRT berdasarkan penerimaan sensori berkisar antara 1.5-2 hari, namun secara mikrobiologis, dalam waktu 16 jam sudah tidak memenuhi standar mikrobiologis SNI untuk mie basah (Departemen ITP, 2005). Di samping itu, praktek pengolahan yang kurang memperhatikan sanitasi dan higiene dapat bekontribusi pula pada pendeknya umur simpan produk tersebut, karena jumlah mikroorganisme pada saat produk baru selesai diproduksi sudah tinggi, sehingga untuk membuat produk menjadi basi atau busuk hanya memerlukan waktu pendek.
Pendeknya umur simpan produk-produk ber-aw tinggi sering menjadi masalah bagi produsen, terutama bila produknya akan dijual dalam bentuk segar, atau pangan tersebut tidak segera diolah misalnya ikan yang ditangkap di perairan lepas. Di sisi lain akses terhadap fasilitas pendinginan juga sangat kurang, baik dari sisi ketersediaan fasilitas fisik. Oleh karena itu, penggunaan bahan pengawet seringkali menjadi pilihan agar pangan dapat awet lebih lama. Sayangnya, penggunaan bahan pengawet yang tidak diizinkan, seperti formalin, kadang digunakan, baik dengan kesadaran ataupun karena minimnya pengetahuan produsen. Jika dibandingkan dengan harga formalin, harga es batu yang diperlukan untuk mendinginkan ikan oleh para nelayan jauh lebih mahal. Untuk mengawetkan ikan 500 kg ikan segar dibutuhkan es senilai Rp. 2.85 juta. Untuk jumlah yang sama dibutuhkan 10 kg formalin dengan harga Rp. 7000,- per kilogram (Kompas cyber media, 20/05/06, www2.kompas.com/kesehatan).
Cara yang efektif dan aman untuk mengawetkan pangan ber-aw tinggi dan ber­pH netral atau tinggi adalah dengan pendinginan. Hal yang harus dipahami oleh produsen adalah bahwa tidak ada pengawet pangan yang aman, yang secara efektif dapat mempertahankan keawetan pangan ber-aw tinggi dan ber-pH netral yang disimpan pada suhu ruang. Efektivitas pengawet pangan pun dipengaruhi oleh pH atau keasaman bahan pangan serta kondisi penyimpanan. Dengan demikian, harapan terhadap umur simpan pangan segar yang disimpan pada suhu ruang juga tidak lebih dari 24-36 jam.
Pada pembuatan ikan asin, proses pengeringan dengan sinar matahari yang memerlukan waktu lama, menyebabkan berpacunya proses pengeringan tersebut dengan pembusukan ikan, sehingga para produsen seringkali menambahkan bahan kimia yang tidak diperkenankan untuk pangan pada proses pengeringan ikan asin. Akses terhadap fasilitas pengeringan yang memadai merupakan suatu prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjamin keamanan pangan ikan asin. 
Dampak penggunaan bahan tambahan yang tidak diizinkan dalam makanan, seperti formalin dan boraks tersebut, tentu saja akan merugikan kesehatan konsumen. Formalin sangat mudah diserap oleh tubuh melalui saluran pernapasan dan pencernaan. Dalam jangka pendek, konsumsi formalin dalam dosis yang rendah dapat menyebabkan sakit perut akut disertai muntah-muntah, timbulnya depresi susunan saraf, serta kegagalan peredaran darah. Sementara itu, pada dosis tinggi, formalin dapat menyebabkan kejang-kejang, kencing darah, tidak bisa kencing serta muntah darah, dan akhirnya menyebabkan kematian. Penggunaan formalin dalam jangka panjang dapat berakibat buruk pada organ tubuh, seperti kerusakan hati dan ginjal, bahkan bisa pula menimbulkan kanker pada pemakainya. Sedangkan penggunaan asam borat atau boraks dalam dosis rendah dapat terakumulasi di otak, hati, lemak, dan ginjal. Untuk pemakaian dosis tinggi, boraks dapat mengakibatkan demam, koma, kerusakan ginjal, pingsan, dan kematian. Sementara itu, rhodamin B dapat menyebabkan iritasi pada paru-paru, mata, tenggorokan, hidung dan usus. Dampak ini sebaiknya dikomunikasikan kepada masyarakat.  
B.   PENERAPAN PRAKTEK SANITASI YANG BENAR PADA IRT PANGAN
Sanitasi di IRT Pangan pada umumnya masih memprihatinkan dan merupakan masalah yang mendasar yang harus diselesaikan, walaupun beberapa IRT telah mulai melakukan praktek sanitasi yang baik. Sebagaimana diketahui, bahwa air merupakan komponen yang penting dalam suatu industri, namun akses terhadap air bersih tidak dimiliki oleh seluruh IRT pangan, sehingga banyak IRT yang menggunakan sumber air yang tidak memenuhi persyaratan keamanan pangan. Survey terhadap produsen mie basah yang dilakukan oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB pada tahun 2004-2005, produsen mie basah menggunakan dua jenis sumber air yaitu air tanah dan air PAM, namun air tersebut digunakan tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Dari survei yang dilakukan oleh Departemen ITP pada tahun 2005, menunjukkan kondisi sanitasi tempat produksi dan lingkungan sangat bervariasi. Pada umumnya mereka tidak memiliki tempat penyimpanan bahan baku yang terpisah dari ruang produksi. Secara umum kondisi sanitasi tempat produksi dan lingkungan lebih baik dari kondisi IRT (Gambar 2). Semua industri rumah tangga yang disurvai memiliki kondisi lingkungan yang kotor, terletak didekat sumber kontaminasi, mudah terekspos debu atau polusi udara. Hewan-hewan sering berkeliaran di sekitar ruang pengolahan dan sampah pun tidak dibersihkan secara teratur. Semua industri rumah tangga ini telah memiliki fasilitas air bersih dan alat kebersihan.
C.  STRATEGI PENINGKATAN KEAMANAN PANGAN PRODUK IRTP
Isu keamanan pangan yang dihadapi oleh IRT Pangan dapat dikelompokkan ke dalam 2 bagian utama yaitu: penggunaan bahan tambahan yang tidak diperkenankan dan praktek sanitasi yang kurang memadai. Praktek sanitasi yang kurang memadai antara lain sebagai pemicu penggunaan bahan tambahan yang tidak diperkenankan pada pangan, khususnya pengawet. Di sisi lain, kualitas sumberdaya manusia yang terlibat langsung dalam produksi pangan, khususnya pengetahuan dalam hal keamanan pangan, masih belum memadai. Berdasarkan isu utama ini maka strategi untuk meningkatkan keamanan pangan produk IRT pangan dapat didekati dari berbagai target, yang mencakup peningkatan kualitas SDM, pembinaan dan pendampingan untuk melakukan praktek pengolahan dan sanitasi yang baik dan akses terhadap fasilitas dan bahan tambahan pangan yang aman. Inspeksi dan pengawasan oleh instansi terkait juga perlu lebih diintensifkan. Pelaksanaan program-program ini perlu kerjasama antara berbagai instansi terkait yaitu Departemen Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan dan Pemerintah Daerah.

Sumber :
Munif, 2012, “enviromental sanitation’s  journal”. Ol. Vol 17, https://environmentalsanitation.wordpress.com/category/sanitasi.../17/‎.

Terimakasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar