TUGAS INDIVIDU JURNAL “SANITASI
TEMPAT-TEMPAT UMUM (STTU)”
NAMA : OSCARIANI PASERANG
NIM : 1110002/ KELAS A
BAGIAN EPIDEMIOLOGI &
BIOSTATISTIK
Industri Rumah Tangga (IRT) di Indonesia memegang peran penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga, sehingga merupakan
salah satu bagian yang penting dari perekonomian negara. Peran penting ini
juga dilakukan oleh IRT Pangan. Menteri Perdagangan RI dalam sambutannya pada
pembukaan Pameran Pangan Nusa 2007 di Jakarta tanggal 9 Agustus 2007, menyampaikan
bahwa sektor industri pangan tidak saja menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang tetapi juga berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat
yang terlibat di dalamnya.
Untuk data IRT sayangnya tidak
terlalu dijelaskan akan tetapi IRT pangan sangatlah penting. Dengan demikian, IRT pangan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai ujung tombak perekonomian dan penyediaan pangan yang aman dan bermutu. Berbagai kendala dihadapi IRT dalam mengembangkan bisnisnya, antara lain akses terhadap modal dan fasilitas, kualitas sumberdaya manusia dan
buruknya praktek sanitasi. Kendala-kendala tersebut telah memicu praktek
produksi pangan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah dalam cara produksi pangan
yang baik. Akibatnya berbagai isu keamanan
pangan masih melekat erat pada produk pangan IRT. Penggunaan bahan kimia
berbahaya untuk pengawet, penggunaan pewarna yang tidak diijinkan dan bahan kimia lainnya yang tidak
diperkenankan untuk pangan, masih sering terjadi pada produk pangan IRT. Demikian juga, pemakaian bahan tambahan
pangan yang berlebihan. Dampak
penggunaan bahan kimia yang tidak diperkenankan untuk pangan, atau penggunaan
bahana tambahan yang melebihi ketentuan tentu saja akan merugikan konsumen.
Dalam undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang
pangan, keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Lebih lanjut di dalam PP 28
Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi pangan disebutkan bahwa persyaratan keamanan pangan adalah standar dan ketentuan-ketentuan lain yang harus
dipenuhi untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya
bahaya, baik karena cemaran biologis, kimia dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia. Karena demikian berpengaruhnya keamanan pangan terhadap
kesehatan dan produktivitas, maka keamanan pangan merupakan suatu persyaratan di dalam penyediaan pangan dan perdagangan. Di dalam
Undangundang pangan dinyatakan bahwa setiap orang dilarang memproduksi dan mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya atau yang dapat
merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia, atau pangan yang mengandung bahan yang dilarang atau melampaui batas yang diizinkan dalam
kegiatan atau proses produksi pangan.
Masalah keamanan pangan yang masih banyak ditemukan di Indonesia adalah
beredarnya produk-produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, baik
dari segi cemaran biologis maupun kimia seperti pestisida dan logam berat,
maupun dari penggunaan bahan kimia yang dilarang untuk pangan atau bahan
tambahan pangan yang digunakan melebihi batas maksimum yang ditetapkan. Terkait
dengan keamanan produk pangan IRT, isu keamanan pangan yang masih sering muncul
adalah penggunaan bahan kimia yang dilarang untuk pangan baik sebagai pengawet,
maupun sebagai bahan tambahan untuk memperbaiki mutu produk. Laporan Food Watch
tahun 2004 menyampaikan bahwa dari hasil analisis sampel yang dikirim oleh
laboratorium Balai POM pada periode tahun
200 1-2003 ditemukan produk pangan yang mengandung bahan kimia yang tidak diperkenankan untuk pangan
seperti formalin, borax dan rhodamin
B. Rhodamin B ditemukan pada kerupuk, terasi, makanan ringan dan lain-lain (Gambar 1), boraks ditemukan pada mie basah,
bakso, makanan ringan, kerupuk, mie kering
dan lainnya, sedangkan formalin ditemukan pada mie basah, tahu dan lainnya. Rhodamin merupakan pewarna yang
dilarang untuk makanan, biasanya
digunakan untuk pewarna tekstil. Boraks digunakan untuk detergen, mengurangi kesadahan dan antiseptik lemah,
sementara formalin diketahui sebagai pengawet
mayat dan digunakan pada industri kayu, plastik dan industry non-pangan lainnya.
Sebanyak 59% sampel yang mengandung rhodamin B
adalah produk yang tidak terdaftar dan 39% sampel dengan kode SP. Seluruh
sampel pangan yang mengandung formalin berasal dari industri
yang tidak terdaftar, sementara itu, 80% pangan yang mengandung
boraks adalah produk yang tidak terdaftar dan 17% adalah pangan dengan kode SP.
Data ini menunjukkan bahwa produk pangan yang mengandung bahan kimia yang tidak diperkenankan adalah
produk IRT pangan.
Beberapa laporan yang dipublikasi di media masa
juga menunjukkan ditemukannya penggunaan bahan
pengawet yang tidak diperkenankan dalam produk makanan, seperti formalin.
Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Universitas Gadjah Mada melaporkan adanya penggunaan formalin di beberapa industri
mie basah di Kabupaten Bantul
Yogyakarta (Kompas, 20/04/02). Demikian juga BPOM telah melaporkan bahwa lebih dari 80% mie basah yang
dipasarkan di Bandung (dari 29 contoh
yang diuji) mengandung formalin (Kompas, 6/03/03). Laporan lain yang dikeluarkan oleh Institute for Science and Technology
Studies (ISTECS) mengindikasikan
penggunaan formalin dalam beberapa jenis makanan tradisional yang dipasarkan di Jakarta, yang di antaranya juga
termasuk mie basah (Berita Iptek online, http://beritaiptek.com/messages/aktualnews). Pengujian oleh BPOM pada periode 2005 menunjukkan
banyaknya produk pangan yang mengandung formalin. Salah satu kriteria beberapa produk
pangan seperti mie basah adalah kekenyalan. Sayangnya, bahan pengenyal yang
dilarang dalam makanan, baik disengaja ataupun tidak disengaja, kadang
digunakan, di antaranya boraks. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi
Universitas Gadjah Mada melaporkan adanya
kandungan boraks dalam mie basah di Kabupaten Bantul Yogyakarta (Kompas,
20/04/02). Demikian juga BPOM melaporkan hasil yang sama terhadap mie basah
yang dipasarkan di Bandung (Kompas,
6/03/03). Survey yang dilakukan oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB (2005) menunjukkan bahwa seluruh sampel
mie yang diperoleh dari pasar, baik
tradisional maupun modern dan dari penjual makanan berbasis mie positif mengandung boraks.
Pada akhir tahun 2005, kasus penggunaan formalin
menjadi isu yang sangat besar di Indonesia. Sebagaimana
diberitakan di berbagai media, selain pada mie dan tahu, formalin juga ditemukan pada karkas ayam, ikan segar, ikan asin dan
pangan lainnya. Pada awal tahun 2006 dibahas mengenai strategi pengendalian
perdagangan formalin sebagai salah satu cara untuk mengatasi
penggunaan dalam pangan. Pengawasan terhadap penggunaan
formalin pun diperketat, baik oleh instansi berwenang
maupun oleh masyarakat. Akibat maraknya pemberitaan mengenai penggunaan formalin pada pangan, banyak konsumen yang menghindari untuk
membeli tahu segar maupun mie basah. Di satu sisi, pengetahuan konsumen telah
memberikan kontribusi terhadap pengawasan keamanan pangan, namun di sisi lain,
telah berdampak pada perekonomian. Pembeli yang
berkurang secara drastis mengakibatkan UKM dan IRT pangan
tersebut mengurangi produksinya atau bahkan menghentikan produksinya. Dampak juga dirasakan oleh penjual makanan berbasis mie basah. Walaupun peraturan tata niaga bahan berbahaya termasuk formalin sudah diatur, namun
berita di harian Kompas (20/02/2007) menyebutkan bahwa
formalin masih ditemukan pada berbagai produk pangan yang
diuji atas inisiatif Litbang Kompas, yaitu tahu putih besar, tahu putih kecil, ikan teri asin, dan ikan gabus asin. Hal ini menunjukkan
bahwa penggunaan formalin untuk pengawet pangan masih terus berlangsung. Mengapa
pada pangan tersebut digunakan pengawet dalam hal ini formalin? Mie basah,
tahu, karkas ayam dan ikan merupakan pangan yang mudah rusak. Bahan pangan
tersebut mengandung nutrisi lengkap dengan pH netral sampai basa (misalnya pada
mie basah dengan kisaran pH 8-9), dan memiliki kadar air atau aw (aktivitas
air) yang tinggi, sehingga merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme. Suhu di Indonesia juga mendukung
pertumbuhan mikroorganisme. Tanpa
pendinginan atau penambahan pengawet, umur simpan mie basah yang diproduksi oleh IRT berdasarkan penerimaan
sensori berkisar antara 1.5-2 hari,
namun secara mikrobiologis, dalam waktu 16 jam sudah tidak memenuhi standar mikrobiologis SNI untuk mie basah (Departemen ITP,
2005). Di samping itu, praktek pengolahan yang kurang memperhatikan sanitasi
dan higiene dapat bekontribusi pula pada
pendeknya umur simpan produk tersebut, karena jumlah mikroorganisme pada saat produk baru selesai diproduksi sudah tinggi,
sehingga untuk membuat produk menjadi basi atau busuk hanya memerlukan
waktu pendek.
Pendeknya umur simpan produk-produk ber-aw
tinggi sering menjadi masalah bagi produsen, terutama bila produknya akan dijual
dalam bentuk segar, atau pangan tersebut tidak segera diolah misalnya ikan yang
ditangkap di perairan lepas. Di sisi lain akses
terhadap fasilitas pendinginan juga sangat kurang, baik dari sisi ketersediaan fasilitas fisik. Oleh karena itu, penggunaan bahan
pengawet seringkali menjadi pilihan agar
pangan dapat awet lebih lama. Sayangnya, penggunaan bahan pengawet yang tidak diizinkan, seperti formalin, kadang
digunakan, baik dengan kesadaran ataupun karena minimnya pengetahuan produsen. Jika dibandingkan dengan harga
formalin, harga es batu yang diperlukan untuk mendinginkan ikan oleh
para nelayan jauh lebih mahal. Untuk
mengawetkan ikan 500 kg ikan segar dibutuhkan es senilai Rp. 2.85 juta. Untuk jumlah yang sama dibutuhkan 10 kg formalin
dengan harga Rp. 7000,- per kilogram (Kompas cyber media, 20/05/06, www2.kompas.com/kesehatan).
Cara yang efektif dan aman untuk mengawetkan
pangan ber-aw tinggi dan berpH netral atau tinggi adalah
dengan pendinginan. Hal yang harus dipahami oleh produsen adalah
bahwa tidak ada pengawet pangan yang aman, yang secara efektif dapat mempertahankan keawetan pangan ber-aw tinggi dan ber-pH netral yang disimpan pada suhu ruang. Efektivitas pengawet pangan pun dipengaruhi oleh
pH atau keasaman bahan pangan serta kondisi penyimpanan. Dengan demikian, harapan terhadap umur simpan pangan segar yang disimpan pada suhu ruang juga tidak
lebih dari 24-36
jam.
Pada pembuatan ikan asin, proses pengeringan
dengan sinar matahari yang memerlukan waktu lama, menyebabkan
berpacunya proses pengeringan tersebut dengan
pembusukan ikan, sehingga para produsen seringkali menambahkan bahan kimia yang tidak diperkenankan untuk pangan pada proses pengeringan ikan
asin. Akses
terhadap fasilitas pengeringan yang memadai merupakan suatu prasyarat yang
harus dipenuhi untuk menjamin keamanan pangan ikan asin.
Dampak penggunaan bahan tambahan yang tidak
diizinkan dalam makanan, seperti formalin dan boraks
tersebut, tentu saja akan merugikan kesehatan konsumen. Formalin sangat mudah diserap oleh tubuh melalui saluran pernapasan dan pencernaan. Dalam jangka pendek, konsumsi formalin dalam dosis yang rendah
dapat menyebabkan sakit perut akut disertai muntah-muntah, timbulnya depresi
susunan saraf, serta kegagalan peredaran darah. Sementara itu, pada dosis
tinggi, formalin dapat menyebabkan kejang-kejang,
kencing darah, tidak bisa kencing serta muntah darah, dan
akhirnya menyebabkan kematian. Penggunaan formalin dalam jangka panjang dapat berakibat buruk pada organ tubuh, seperti kerusakan hati dan
ginjal, bahkan bisa pula menimbulkan kanker pada pemakainya. Sedangkan penggunaan asam borat atau boraks dalam dosis rendah dapat terakumulasi di otak, hati,
lemak, dan ginjal. Untuk pemakaian dosis tinggi, boraks
dapat mengakibatkan demam, koma, kerusakan
ginjal, pingsan, dan kematian. Sementara itu, rhodamin B dapat menyebabkan iritasi pada paru-paru, mata, tenggorokan, hidung dan usus.
Dampak ini sebaiknya dikomunikasikan kepada masyarakat.
B.
PENERAPAN PRAKTEK SANITASI YANG
BENAR PADA IRT PANGAN
Sanitasi di IRT Pangan pada umumnya masih
memprihatinkan dan merupakan masalah yang mendasar
yang harus diselesaikan, walaupun beberapa IRT telah mulai
melakukan praktek sanitasi yang baik. Sebagaimana diketahui, bahwa air merupakan komponen yang penting dalam suatu industri, namun akses terhadap
air bersih tidak
dimiliki oleh seluruh IRT pangan, sehingga banyak IRT yang menggunakan sumber
air yang tidak memenuhi persyaratan keamanan pangan. Survey terhadap produsen mie basah yang dilakukan oleh Departemen Ilmu
dan Teknologi Pangan IPB pada tahun 2004-2005, produsen mie basah
menggunakan dua jenis sumber air yaitu air
tanah dan air PAM, namun air tersebut digunakan tanpa pengolahan
terlebih dahulu.
Dari survei yang dilakukan oleh Departemen ITP
pada tahun 2005, menunjukkan kondisi sanitasi
tempat produksi dan lingkungan sangat bervariasi. Pada umumnya mereka tidak memiliki tempat penyimpanan bahan baku yang terpisah
dari ruang produksi. Secara umum kondisi sanitasi tempat produksi dan lingkungan
lebih baik dari kondisi IRT (Gambar 2). Semua industri rumah tangga yang
disurvai memiliki kondisi lingkungan yang kotor, terletak didekat sumber
kontaminasi, mudah terekspos debu atau
polusi udara. Hewan-hewan sering berkeliaran di sekitar ruang pengolahan dan
sampah pun tidak dibersihkan secara teratur. Semua industri rumah tangga
ini telah memiliki fasilitas air bersih dan alat kebersihan.
C. STRATEGI PENINGKATAN KEAMANAN PANGAN PRODUK IRTP
Isu keamanan pangan yang dihadapi oleh IRT Pangan dapat dikelompokkan ke dalam 2 bagian utama yaitu:
penggunaan bahan tambahan yang tidak
diperkenankan dan praktek sanitasi yang kurang memadai. Praktek sanitasi yang
kurang memadai antara lain sebagai pemicu penggunaan bahan tambahan yang tidak diperkenankan pada pangan, khususnya pengawet. Di
sisi lain, kualitas sumberdaya manusia yang terlibat langsung dalam produksi
pangan, khususnya pengetahuan dalam hal
keamanan pangan, masih belum memadai. Berdasarkan isu utama ini maka strategi untuk meningkatkan keamanan pangan produk IRT
pangan dapat didekati dari berbagai
target, yang mencakup peningkatan kualitas SDM, pembinaan dan pendampingan untuk melakukan praktek pengolahan
dan sanitasi yang baik dan akses terhadap
fasilitas dan bahan tambahan pangan yang aman. Inspeksi dan pengawasan oleh instansi terkait juga perlu lebih
diintensifkan. Pelaksanaan program-program ini perlu kerjasama antara berbagai instansi terkait yaitu Departemen
Pertanian, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Badan Pengawasan Obat dan
Makanan dan Pemerintah Daerah.
Sumber :
Munif, 2012, “enviromental
sanitation’s journal”. Ol. Vol 17, https://environmentalsanitation.wordpress.com/category/sanitasi.../17/.
Terimakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar